A. JUDUL PROGRAM Inovasi Baru Pengembangan
Kerupuk Pupa Ulat Sutera (Bombyx mori) dengan Menggunakan Teknik Deep
Frying dan Microwave
B. LATAR BELAKANG
Kerupuk
merupakan salah satu produk pangan yang berasal dari Indonesia, terbuat dari
tepung tapioka atau pati sagu (Yu, 1991), dicampur dengan bahan tambahan pangan
dan dilakukan penggorengan dengan minyak sebelum disajikan. Bahan dasar
tersebut pada umunya memiliki kualitas gizi yang kurang baik terutama pada
kandungan protein, sehingga diperlukan penambahan bahan lain yang tinggi
protein untuk meningkatkan nilai gizinya (Kusharto, 1982). Penambahan bahan
tersebut juga dapat meningkatkan citarasa produk kerupuk (Rahardjo dan Haryadi,
1997). Beberapa bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan kerupuk antara
lain lumatan ikan laut, ikan nila, udang, telur, dan lainnya (Budiman, 1985;
Yu, 1991; Julianty et al., 1994; Yu et al., 1994; Rahardjo dan
Haryadi, 1997). Penambahan bahan non pati yang suka mengikat air dapat
menyulitkan proses pemasakkan pati (Chinachoti et al., 1991) karena
denaturasi protein akan menurunkan kemampuan mengikat air (Kropf dan Bowers,
1992). Makin banyak bahan non protein yang ditambahkan, maka akan semakin cepat
pemasakkan pati (Rahardjo dan Haryadi, 1997). Tingkat kematangan adonan pati
mempengaruhi pengembangan pada hasil akhir dan akibatnya akan mempengaruhi
kerenyahan (Haryadi, 1994). Semakin banyak penambahan bahan non pati, maka akan
semakin nikmat secara organoleptik. Namun di sisi lain, penambahan bahan non
pati akan menurunkan pengembangan kerupuk pada saat pematangan yang
mempengaruhi pada tingkat kerenyahannya (Haryadi et al., 1989). Padahal,
kerenyahan merupakan penentu utama tingkat penerimaan kerupuk (Yu et al.,
1981). Pembuatan kerupuk melalui beberapa tahapan, yaitu pembuatan adonan,
pengukusan gelondong adonan, pendinginan, pengeringan, dan proses pematangan
(Rahardjo dan Haryadi, 1997; Topan, 2008; Miyatani, 2008). Proses pematangan
yang biasa dilakukan dalam pembuatan kerupuk adalah dengan proses penggorengan
menggunakan teknik deep frying (Topan, 2008; Miyatani, 2008).
Namun saat ini, penggunaan minyak goreng sebagai media pematangan bahan
pangan mulai dikaji kembali karena menyimpan resiko yang cukup besar pada
kesehatan. Konsumsi lemak yang tidak berimbang dapat mengakibatkan terjadinya
penyakit berbagai degeneratif (Winarno, 1992; Elisabeth, 1997; Tambunan et
al., 1997). Oleh karena itu, pematangan kerupuk dapat dilakukan menggunakan
teknik microwave yang relatif lebih sehat karena tidak menggunakan lemak
dalam proses pematangannya.
Pupa ulat
sutera (Bombyx mori) merupakan salah satu produk sampingan dalam
peternakan ulat sutera yang belum dimanfaatkan secara maksimal, padahal produk
ini kaya akan protein, yaitu mencapai 70% dari berat keringnya (Miyatani,
2008). Hambatan dalam penggunaan pupa ulat sutera dalam industri pangan adalah
kurangnya informasi yang dimiliki mengenai pupa ulat sutera dan adanya persepsi
yang kurang baik mengenai kualitas organoleptik produk-produk alternatif
berbahan dasar serangga. Miyatani (2008) menyatakan bahwa flavor bubuk pupa
rebus dominan akan rasa gurih serta memiliki aroma seperti udang (shrimp-like),
boiled, dan rumput laut (seaweed).
Penambahan pupa
ulat sutera yang kaya akan protein dalam pembuatan kerupuk akan dapat
mempengaruhi tingkat kerenyahan serta karakteristik lain kerupuk yang
dihasilkan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui seberapa
banyak pupa yang dapat ditambahkan dalam formulasi kerupuk pupa serta bagaimana
pengaruh teknik pematangan yang berbeda (deep frying dan microwave)
mempengaruhi karakteristik kerupuk selama penyimpanan.
C. PERUMUSAN MASALAH
Pupa ulat sutera merupakan komoditas kaya
protein yang belum dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung konsep zero
waste industry, sehingga dibutuhkan alternatif pemanfaatannya. Oleh karena
itu diperlukan inovasi aplikatif untuk memanfaatkan pupa ulat sutera yang
memiliki karakteristik yang sangat khas. Kerupuk merupakan produk pangan yang
dapat ditambahkan pupa ulat sutera karena memiliki karakteristik sebagai carrier
yang dibutuhkan. Selain itu adanya proses pembuatan adonan akan memudahkan
aplikasi pupa ulat sutera pada produk tersebut. Namun diperlukan sebuah acuan
mengenai seberapa banyak pupa ulat sutera dapat ditambahakan pada kerupuk
tersebut, serta bagaimana karakteristik produk yang dihasilkan dengan
menggunakan teknik
pematangan yang
berbeda (deep frying dan microwave). Selain itu, seberapa besar
pengaruh penambahan bubuk pupa ulat sutera terhadap karakteristik kerupuk pupa
ulat sutera selama penyimpanan.
D. TUJUAN
PROGRAM
Tujuan dilakukannya penelitian
ini adalah:
1
Membuat produk
kerupuk yang ditambahkan pupa ulat sutera,
2
Menentukan
formulasi pupa ulat sutera yang dapat diaplikasikan pada kerupuk,
3
Menganalisa
karakteristik produk-produk yang telah diaplikasikan pupa ulat sutera
menggunakan metode pematangan yang berbeda,
4
Menganalisa
karakteristik produk kerupuk pupa ulat sutera selama penyimpanan.
E. LUARAN
YANG DIHARAPKAN
Luaran yang diharapkan dari
penelitian ini adalah:
1
Meningkatnya daya
guna pupa ulat sutera,
Produk kerupuk
yang telah diapliksikan pupa ulat sutera yang karakteristiknya sesuai
dengan standar yang berlaku,
2
Produk yang
dihasilkan dapat diterima secara organoleptik,
3
Diketahui
karakteristik produk selama penyimpanan.
F. KEGUNAAN
PROGRAM
Kegunaan dari penelitian ini
adalah:
1
Melatih
kekompakan tim dan menambah pengalaman tim di bidang pengembangan produk
pangan,
2
Turut mewujudkan
Tri Dharma Institut Pertanian Bogor khususnya bidang penelitian dan pengabdian
masyarakat,
3
Produk baru yang
dapat meningkatkan daya guna pupa ulat sutera.
G. TINJAUAN PUSTAKA ) Pupa Ulat Sutra
Pupa
adalah bagian isi dari kokon yang merupakan produk sampingan serikultur. Pupa
berbentuk oval, bersegmen-segmen, bewarna coklat keemasan, dan bertekstur
lembek dan kenyal. produk ini telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang,
termasuk sebagai bahan pangan di negara-negara asia baik secara langsung maupun
tidak langsung. Pupa ulat sutra memiliki kandungan gizi yang baik karena
memiliki kandungan air, kritin, protein larut air, karbohidrat, asam amino, dan
vitamin yang seimbang. Vitamin yang dikandung pupa antara lain vitamin C,
vitamin B2, asam nikotinat, asam folat, dan vitamin B1. Komposisi pupa ulat sutera dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi pupa ulat sutera ( dalam %)
Pupa
Segar
|
Air
|
Abu
|
Lemak
|
Protein
|
Karbohidrat
|
Bobot basah
|
73.73
|
1.17
|
1.84
|
15.48
|
7.78
|
Bobot
Kering
|
280.66
|
4.45
|
7.00
|
58.93
|
29.62
|
Sumber: Miyatani (2008)
Pupa memiliki kandungan asam amino
esensial seperti lisin, isoleusin, leusin, valin, threonin, dan kandungan asam
amino non esensial seperti glisin, serin, alanin. Pupa banyak mengandung
prolin, tirosin, arginin, histidin, dan mengandung sedikit asam glutamat. Pupa
juga mengandung mineral esensial Na, K, Ca, dan P (Singhal et al.,
2001). Kandungan asam amino pada pupa dapat dilihat di Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi asam amino pupa
ulat sutera (dalam mg asam amino / g protein)
Asam
Amino
|
Jumlah
|
Asam
Amino
|
Jumlah
|
Asam
Amino
|
Jumlah
|
Prot
|
14.80
|
Ala
|
0.60
|
Glu
|
1.37
|
Arg
|
0.59
|
Gly
|
0.69
|
Ser
|
0.52
|
Lys
|
0.80
|
Pro
|
0.54
|
Thr
|
0.50
|
His
|
0.51
|
Trp
|
0.16
|
Asp
|
1.12
|
Phe
|
0.54
|
Cys
|
0.20
|
Ile
|
0.47
|
Tvr
|
0.71
|
Val
|
0.63
|
Met
|
0.42
|
Leu
|
0.75
|
Sumber:
Katayama et al. (2006)
Pemanfaatan pupa
yang telah dilakukan adalah sebagai pupuk, senyawa anti bakteri untuk melawan
sel leukimia, senyawa anti fungal, dan sebagai sumber lesitin yang dapat
dimanfaatkan untuk antioksidan pada minyak sayur dan minyak ikan. Pupa juga
dimanfaatkan sebagai makanan komersil dan makanan diet bagi penderita diabetes
dan gangguan jantung. Pupa juga banyak dimanfaatkan dalam bentuk powder.
Hal ini disebabkan oleh komposisi pupae powder yang banyak mengandung
protein dan lemak. Pupae powder mengandung 7.18% air, 29.57% lipid,
48.98% protein, 4.65% glikogen, 3.37% kitin, 2.19% abu, dan zat-zat lain
seperti vitamin dan mineral. Pemanfaatan pupae powder adalah untuk
fortifikasi protein untuk produk sup dan saus, bahan tambahan dalam pembuatan
roti dan kue, dan fortifikasi diet untuk penderita diabetes dan gangguan
jantung (Singhal et al., 2001).
Minyak pupa bewarna kecoklatan transparan
dan berbau seperti ikan. Minyak pupa memiliki pH sekitar 6, bilangan iodin 110,
dan bilangan saponofikasi 210. Minyak pupa tidak teremulsi oleh air tetapi
larut pada eter, petroleum eter, aseton, isopropanol, xilen, CCI, alkohol
absolut, asam asetat glasial, etil asetat, dan n-propanol. Minyak pupa banyak
dimanfaatkan dalam produk hair tonic dan sabun. Selain itu minyak pupa
juga dapat dihidrogenasi dan dimanfaatkan untuk pembuatan high grade soap dan
lilin (Singhal et al., 2001).
2) Protein
Powder
Protein
adalah salah satu kandungan dalam makanan yang berupa polimer kompleks yang
terdiri 20 jenis asam amino yang berbeda dan disambungkan oleh ikatan amida
(Fennema, 1996). Protein disusun oleh karbon, hidrogen, dan nitrogen.
Klasifikasi protein dilakukan berdasarkan sifat protein, yaitu protein esensial
dan non esensial. Ada 9 protein esensial, yaitu histidin, isoleusin, leusin,
lisin, metionin, fenilalanin, threonin, triptofan, dan valin. Ada 11 protein
non esensial, yaitu alanin, arginin, asparagin,asam aspartat, sistein, asam
glutamat, glutamin, glisin, prolin, serin, tirosin. Protein berfungsi sebagai
komponen penyusun struktur otot, tulang, organ, dan jaringan tubuh. Protein
juga berfungsi sebagai enzim, hormon, antibodi, dan fibrin. Fungsi lain protein
adalah sebagai sumber energi yang setara dengan 4 kkal/g. Protein makanan
biasanya didefinisikan sebagai protein yang mudah dicerna, tidak beracun,
memiliki kandungan seimbang, memiliki aspek fungsional dalam produk pangan, dan
tersedia dalam jumlah besar (Fennema, 1996).
Sumber protein dibagai menjadi dua, yaitu
dari tumbuhan dan dari hewan. Sumber-sumber protein yang banyak dikonsumsi
manusia adalah susu, telur, daging, dan kacang kedelai. Kandungan protein dalam
makanan akan dipengaruhi oleh proses pengolahan terhadap makanan. Hal ini
disebabkan karena selama proses pengolahan akan terjadi beberapa reaksi yang
disebabkan oleh kondisi pengolahan yang dilakukan.
Karakteristik protein dalam makanan
dipengaruhi oleh suhu pemanasan, kecepatan pemanasan, dan lama pemanasan. Denaturasi
protein akan meningkat sebesar 600 kali setiap kenaikan 100C. Pada suhu 62-800C hubungan antara waktu dan suhu pemanasan
terhadap tingkat denaturasi berada dalam grafik semi logaritmik, dan pada suhu
yang lebih tinggi pemanasan akan mengakibatkan denaturasi protein sesuai grafik
logaritmik (Boyle et al., 1997). Hal ini dapat dijadikan acuan untuk
menentukan suhu dan lama pemanasan produk tanpa merusak terlalu banyak protein.
Berdasarkan data tersebut, pengeringan pupa dilakukan pada suhu 600C selama 6 jam agar tingkat denaturasi
protein tersebut tetap dapat diminimalisasi.
Proses pengolahan akan berpengaruh
terhadap kandungan protein dalam bahan pangan. Pemanasan kacang-kacangan selama
30 menit akan mereduksi kandungan lisin sampai 25% (Owusu-Apenten, 2001).
Proses pengukusan pada suhu 1190C selama
5-10 menit akan menginaktivasi faktorfaktor antinutrisi tanpa merusak protein
cukup banyak bila diukur dengan metode pengukuran kandungan lisin yang
tersedia. Pemanggangan dapat meningkatkan daya cerna protein, mengurangi faktor
antinutrisi, mengurangi inhibitor tripsin, dan mengurangi jumlah lisin
(Owusu-Apenten, 2001).
3)
Delipidisasi
Pupa ulat sutera kaya akan
asam lemak, terutama asam lemak tidak jenuh. Komposisi asam lemak ulat sutera
dipengaruhi oleh fase pertumbuhan ulat dan juga makanan yang dikonsumsi ulat.
Menurut Tazima (1978), pupa yang dihasilkan oleh ulat yang mengkonsumsi daun
murbei kaya akan asam stearat, asam linoleat, dan asam linolenat (Tabel 3).
Tabel 3. Komposisi asam lemak (%) dari total lemak
pupa ulat sutera.
Pupa
Ulat
|
Asam
Lemak
|
|||||||
12:0
Laurat
|
14:0
Miristat
|
16:0
Palmitat
|
16:1
Palmitoleat
|
18:0
Stearat
|
18:1
Oleat
|
18:2
Linoleat
|
18:3
Linolenat
|
|
Jantan
|
Trace
|
0,3
|
28,8
|
2,3
|
3,1
|
27,2
|
6,2
|
32,1
|
Betina
|
0,2
|
0,2
|
22,9
|
1,6
|
4,4
|
27,1
|
8,2
|
35,4
|
Sumber:
Tazima (1978)
Menurut Angelo (2001), lipida akan teroksidasi dan
membentuk hidroperoksida yang sangat mudah teroksidasi atau terdekomposisi
menjadi produk reaksi sekunder seperti aldehida, keton, asam, dan alkohol.
Senyawasenyawa ini akan menpengaruhi flavor, rasa, aroma, kandungan gizi, dan
kualitas bubuk pupa ulat sutera. Asam lemak tidak jenuh, seperti asam linoleat,
asam linolenat, dan asam oleat mudah teroksidasi dan membentuk off-flavors yang
dikenal sebagai ketengikan oksidatif. Oksidasi asam lemak tidak jenuh dapat
dipicu oleh –OH radikal yang dimiliki tembaga dan vitamin C dan melalui
mekanisme enzimatis membentuk H2O2 dan superoxide radical.
Selain itu off-flavors dapat pula dihasilkan dari reaksi antara komponen
tidak jenuh dengan H2S
dan CH3SH yang
menghasilkan produk beraroma kuat (Moran dan Rajah, 1994).
Keberadaan off-flavors dalam bubuk ulat sutera
tidak dikehendaki, sehingga perlu dicari metode untuk menghilangkan atau
mengurangi off-flavors yang mungkin timbul pada bubuk pupa ulat sutera,
terutama karena pupae powder akan diaplikasikan pada produk berumur
simpan panjang. Off-flavors dapat dihindari dengan beberapa cara,
seperti pasteurisasi pada suhu 800C selama
1 jam dengan penambahan 0.5 mg/L hidrogen sulfida yang akan mengubah aroma fishy
menjadi aroma frying, atau ekstraksi lemak untuk mengurangi kadar
asam lemak yang mudah teroksidasi dalam pupa ulat sutera.
Delipidisasi adalah proses pemisahan lemak dari produk
sehingga didapatkan bubuk pupa rendah lemak. Proses delipidisasi akan membantu
mengurangi jumlah asam lemak yang mudah teroksidasi dan menimbulkan off-flavors,
ketengikan, dan kerusakan oksidatif pada bubuk pupa. Delipidisasi dapat
dilakukan menggunakan beberapa metode yang ditentukan oleh sifat jaringan yang
akan diekstrak dan informasi yang dibutuhkan dari proses tersebut (Christine,
1993).
Metode ekstraksi lemak dibagi menjadi
metode pengepresan, ekstraksi menggunakan pelarut organik, dan metode
pemanasan. Metode yang umum dipakai adalah ekstraksi menggunakan pelarut
organik, karena metode ini dapat digunakan untuk menghilangkan asam lemak yang
terikat pada jaringan dan dilakukan pada suhu yang relatif rendah sehingga
mengurangi kerusakan produk. Salah satu faktor penting yang harus diperhatikan
dalam ekstraksi menggunakan pelarut adalah pemilihan pelarut. Sifat-sifat
pelarut yang harus diperhatikan daya melarutkan, titik didh, toksisitas, sifat
mudah terbakar, dan sifat korosif. Selain itu perlu diperhatikan pula kepolaran
bahan yang diekstrak. Trigliserida nonpolar akan larut pada pelarut nonpolar
dan sebaliknya (Pomeranz dan Meloan, 2000). Pelarut yang baik adalah pelarut
yang dapat melarutkan lemak dengan cepat dan sempurna, memiliki titih didih
rendah, dan tidak toksik (Heath dan Reineccius, 1986).
Pelarut yang banyak digunakan adalah
petroleum eter, heksana, etanol, metanol, dan kloroform (Houghton dan Raman,
1998). Menurut Pomeranz dan Meloan (2000), solven yang umum digunakan adalah
petroleum eter karena sifatnya yang lebih selektif terhadap lemak, sedangkan etil
eter adalah pelarut yang lebih baik untuk lemak karena dapat melarutkan lipida
teroksidasi. Pelarut heksana banyak digunakan karena bersifat hidrofobik (tidak
larut air) dan tidak mendenaturasi protein pada suhu tinggi (Handoko, 2000).
Alat yang umum digunakan dalam ekstraksi
lemak menggunakan pelarut organik adalah alat ekstraksi Soxhlet. Prinsip metode
ini adalah dengan merendam produk dalam pelarut yang mengalami siklus destilasi
dan kondensasi secara kontinyu selama 5-6 jam pada suhu rendah (30-400C). Pelarut didestilasi hingga selama
proses ekstraksi pelarut tidak jenuh. Proses ekstarksi ini dipengaruhi oleh
lama ekstraksi, suhu ekstraksi, efektivitas alat, ukuran partikel bahan, sifat
bahan, dan jumlah bahan yang diekstraksi (Nielsen, 2003).
4. Kerupuk
Kerupuk merupakan salah satu produk pangan
yang berasal dari Indonesia, terbuat dari tepung tapioka, dicampur dengan bahan
tambahan pangan dan dilakukan penggorengan dengan minyak sebelum disajikan.
Kadar air kerupuk berkisar antara 10.3% hingga 11.3% (Fumiko dan Yasuko, 2000).
Pati berperan dalam proses
gelatinisasi dan berpengaruh terhadap volume pengembangan yang merupakan salah
satu mutu kerupuk yaitu semakin besar volume pengembangan maka mutu kerupuk
tersebut makin baik (Wiriano, 1984).
a) Sifat kerupuk
Kerupuk
tapioka mempunyai kandungan protein yang rendah. Hal ini dikarenakan kadar
protein bahan baku yang digunakan (tepung tapioka) rendah. Penambahan ikan,
tepung udang, dan sumber protein lainnya pada adonan kerupuk diharapkan akan
meningkatkan kandungan protein kerupuk yang dihasilkan. Pembuatan adonan
merupakan tahap penting dalam pembuatan kerupuk mentah. Adonan dibuat dengan
mencampurkan bahanbahan utama dan bahan-bahan tambahan yang diaduk hingga
diperoleh adonan liat dan homogen (Wijandi et al., 1975). Kerupuk
memiliki tekstur berongga dan renyah. Hal ini merupakan salah satu mutu dari
kerupuk. Sifat renyah pada produk kerupuk dan crackers berpengaruh
terhadap kualitas produk pangan dan berperan dalam metode penyimpanan suatu
produk pangan (Wairakartakususmah et al., 1989). Sifat kerupuk mudah
melempem, hal ini berkaitan dengan kelembapan udara lingkungan dan tingkat
penyerapan air pada produk kerupuk. Kelembapan udara di Indonesia yang relatif
tinggi (80%-90%) memacu teknologi pembentukan bahan pengemas yang tahan kondisi
lingkungan sesuai dengan produk bahan yang dikemas (Setyawan, 1999). Bahan
pengemas tahan uap air dan udara yang sering digunakan untuk produk kerupuk
adalah plastik, kaleng, dan gelas (Syarief dan Halid, 1993).
b)
Bahan baku kerupuk 1) Tepung tapioka
Tepung
tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu (manihot utilisima) yang
telah mengalami proses pencucian dan dilanjutkan dengan pengeringan dan
penggilingan. Tepung tapioka memiliki granula yang unik yang merupakan sifat
khas yang membedakan tepung tapioka dengan tepung-tepung yang lain (Winarno,
1992). Tepung tapioka akan berwarna jernih apabila membentuk pasta,
mempertinggi mutu penampilan dari produk akhir, dan memiliki suhu
gelatinisasi
yang rendah. Titik gelatinisasi tepung tapioka terjadi pada suhu 60.3-69.5 0C
dengan waktu 2 menit 10 detik hingga 5 menit 46 detik (Maarif, 1984).
2) Gula
Gula adalah suatu istilah umum yang sering
digunakan pada setiap karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam
industri pangan biasanya dinyatakan sebagai sukrosa, gula yang diperoleh dari
bit atau tebu (Buckle et al., 1987). Penggunaan gula pada produk pangan
berprotein dapat menyebabkan reaksi browning atau pencoklatan karena
adanya reaksi antara gugus asam amino bebas seperti amin, asam amino, peptida,
dan protein dengan komponen karbonil yaitu partikel gula preduksi pada gula
(Fayle dan Gerard, 2002: Murthy, 2003). Penggunaan gula pada bahan pangan
bermanfaat terhadap peningkatan kualitas sensori terutama flavor (Reineccius,
1994). Penggunaan gula juga berpengaruh terhadap penurunan aktivitas air bahan
pangan (Buckle et al., 1987). Penambahan gula berpengaruh terhadap
kekentalan gel. Gula dapat menurunkan kekentalan gel karena gula dapat mengikat
air, sehingga pembengkakan butir-butir pati terjadi lebih lambat sehingga
menyebabkan suhu gelatinisasi menjadi lebih tinggi. Keuntungan penggunaan gula
adalah gel yang terbentuk lebih tahan terhadap kerusakan mekanik (Winarno,
1992). 3) Garam Garam (NaCl) sebagai bahan tambahan pangan berperan
dalam menambah cita rasa produk akhir. Garam memperngaruhi Aw dari bahan karena
menyerap air sehingga sehingga Aw akan turun (Buckle et al., 1987).
Penggunaan gula akan mereduksi penggunaan garam untuk setiap penambahan gula
(Reineccius, 1994).
4) Air
Air (H20) adalah
komponen penting dalam produk pangan karena dapat mempengaruhi penampakan,
tekstur, tingkat kerenyahan produk akhir serta cita rasa makanan. Reaksi
pembentukan gel memerlukan air sebagai penentu tingkat keberhasilan produk yang
diinginkan (Winarno, 1992). Jumlah air yang ditambahkan dalam adonan kerupuk
dapat mempengaruhi tingkat adonan kerupuk, penyerapan minyak, dan kerenyahan
produk akhir (Wiriano, 1984). Air dan penggunaan suhu tinggi dapat berpengaruh
pada kecepatan reaksi dan kecepatan pelarutan bahan (Graham, 2000).
5) Bawang putih
Bawang putih (Allium sativum L.)
mempunyai bau yang kuat, rasa yang tajam, dan bereaksi secara enzimatis
membentuk allicin (C3H5-SS-C3-H5), yang memecah alil disulfida. Alil disulfida merupakan
karakteristik bau khas bawang putih. Kandungan lain pada bawang putih yang
menentukan aroma adalah 20% dialil trisulfida, 6% alil propil disulfida,
sejumlah kecil dietil sulfida, dialil polisulfida, alinin dan alisin (Farrel,
1990).
6) Bahan pengembang (baking powder)
Secara umum komposisi baking powder terdiri atas asam (acidic
agents) dan natrium bikarbonat (NaHCO3). Mekanisme kerja dari baking powder adalah
apabila kontak dengan air dan panas akan bereaksi membentuk CO2 yang dapat mengontrol
pengembangan volume adonan (Graham, 2000). Volume gas bersama udara dan uap air
yang terperangkap dalam adonan akan mengembang sehingga diperoleh suatu
struktur berpori (Winarno, 1992).
c)
Pengolahan kerupuk 1) Pembuatan adonan
Tahap
pembuatan adonan merupakan tahap awal yang sangat penting. Fakor yang perlu
diperhatikan dalam pembuatan adonan adalah kehomogenan bahan. Pengadonan
berpengaruh terhadap daya kembang produk (Lavlinesia, 1995).
2)
Pengukusan
Proses
pengukusan dilakukan setelah adonan mentah dicetak. Pengukusan berguna untuk
menggelatinisasikan adonan sehingga dapat membentuk tekstur yang kompak.
Pengukusan yang terlalu lama dapat menyebabkan air yang terperangkap oleh gel
pati terlalu banyak sehingga proses pengeringan dan penggorengan menjadi tidak
sempurna. Adonan yang setengah matang menyebabkan pati tidak tergelatinisasi
dengan sempurna dan akan menghambat pengembangan kerupuk (Elyawati, 1997).
Menurut Djumali et al. (1982), adonan yang telah masak ditandai dengan
seluruh bagian berwarna bening serta teksturnya kenyal. Lama pengukusan
tergantung dari bentuk adonan yang dicetak. Elyawati (1997) menjelaskan
pengukusan adonan yang baik dalam bentuk silinder berukuran diameter ±5 cm
adalah 25 menit pada suhu 100-1100C.
3)
Pendinginan dan pengirisan
Pendinginan adonan dilakukan setelah proses
pengukusan. Pendinginan adonan akan menghasilkan tekstur kerupuk yang padat
sehingga pengirisan mudah dilakukan. Proses pendinginan dapat dipercepat dengan
menggunakan refrigerator (Wiriano, 1984). Pengirisan adonan dapat
dilakukan menggunakan pisau atau slicer dengan ketebalan 2-3 mm.
Pengirisan dengan ukuran seragam berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas
kerupuk setelah penggorengan (Wiriano, 1984).
4)
Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara mengeluarkan
atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan menguapkan sebagian besar uap
air melalui penggunaan energi panas sehingga terjadi penurunan kadar air
(Wiratakusumah et al., 1989). Pengurangan kadar air menyebabkan
kandungan senyawa bahan pangan seperti protein, karbohidrat, lemak, dan mineral
menjadi lebih tinggi, namun vitamin dan zat warna pada umumnya kan rusak dan
menurun (Winarno, 1993). Prinsip pengeringan dengan oven listrik adalah dengan
sistem pindah panas secara konveksi yaitu adanya perpindahan massa zat berupa
udara panas yang ditiupkan melalu pemanas (heater) sebagai sumber panas (Fellow,
1990). Keuntungan dari sistem pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet, volume
bahan menjadi lebih ringkas sehingga memudahkan distribusi produk, menghemat
ruang pngangkutan dan pengemasan, serta bahan menjadi lebih ringan sehingga
biaya pengangkutan menjadi lebih murah. Kerugiannya adalah sifat bahan asal
menjadi berubah seperti bentuk, sifat fisik dan kimis, serta penurunan mutu
(Wiratakusumah et al., 1989).
5)
Penggorengan
Penggorengan adalah proses penyiapan
produk pangan secara cepat menggunakan lemak atau minyak pangan (Shahidi et
al., 1997). Makanan yang digoreng tidak saja menjadi matang tetapi cukup
tinggi suhunya sehingga menjadi coklat dan menghasilkan komponen flavor volatil
sebagai hasil reaksinya (Fayle dan Gerard, 2002).
5.
Plastik Propilen (PP)
Produk kering (kerupuk) yang bersifat
hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk
ini memiliki ERH rendah sehingga harus dikemas dalam kemasan uap air yang
rendah untuk mencegah produk menjadi tidak renyah dan teksturnya rusak. Sifat
plastik PP yang lebih kaku dan tidak mudah sobek dibandingkan plastik PE serta
permeabilitasnya yang relatif lebih kecil menjadikan PP banyak digunakan
sebagai pengemas produk makanan kering khususnya kerupuk (Syarief dan Halid,
1993). PP termasuk jenis platik olefin dan merupakan polimer dari propilen.
Plastik PP memiliki sifat yang ringan (densitas 0.9 g/cm3),
mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih. Plastik PP memiliki sidat yang utama
adalah tahan terhadap asam kuat, basa kuat, dan mempunyai ketahanan yang baik terhadap
minyak dan lemak, stabil pada suhu tinggi, dan cukup mengkilap. Hal ini
menyebabkan plastik PP digunakan pada produk pangan berlemak seperti kerupuk
dibandingkan PE (Syareif dan Halid, 1993). Tabel 4 memperlihatkan perbandingan
antara plastik PP dan PE Sumber:
Syarief dan Halied (1993).
Tabel 4. Sifat-sifat PP dibandingkan dengan PE
Parameter
|
LDPE
|
HDPE
|
PP
|
Densitas
pada 200C (g/cm3)
|
0.92-0.925
|
0.93-0.96
|
0.90
|
Permeabilitas
gas (cc/cm/cm2/cmHg)1011 -Nitrogen -Oksigen -Uap air
|
20 59 800
|
3 11 180
|
4.4 23 600
|
Warna
|
Tidak
transparan
|
Tidak
transparan
|
Transpara n
|
Rigiditas
|
Tidak kaku
|
Tidak kaku
|
Kaku
|
6. Perubahan Fisiko-Kimia Selama Penyimpanan
a) Kerenyahan
Tekstur dalam
bahan pangan bersama flavor lebih berperan dalam penerimaan atribut sensori dan
mutu dalam bahan pangan. Kecenderungan panelis dalam mementingkan penampilan,
flavor, tekstur dan bentuk dalam penerimaan atribut sensori pangan (Hutchings,
1999). Tekstur bahan pangan sangat dipengaruhi oleh Aw bahan tersebut. Menurut
FSA (2005) tingkat Aw bahan pangan berpengaruh terhadap perubahan karakteristik
tekstural seperti kerapuhan dan kerenyahan (dikenal sebagai bunyi yang
dihasilkan pengunyahan sereal yang hilang pada Aw diatas 0.65). pemotongan
dalam bentuk lembaran tipis dan penggunaan metode penggorengan deep frying dapat
mempengaruhi tekstur bahan pangan terutama pembentukan porositas produk hasil
penggorengan (Sulaeman et al., 2004).
b) Ketengikan Kerusakan lemak yang utama adalah
timbulnya bau danrasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan
oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Faktor yang
mempercepat ketengikan adalah cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida,
logam-logam berat seperti Cu, Fe, CO, dan Mn. Logam feritin seperti hematin,
hemoglobin, mioglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase (Winarno, 1992).
Uji ketengikan dapat dilakukan dengan menggunakan uji thiobarbiturat (TBA).
Lemak yang tengik akan bereaksi dengan TBA menghasilkan warna merah. Intensitas
warna menunujukkan derajat ketengikan (Syarief dan Halid, 1993). Perubahan
kimia atau penguraian lemak dan minyak dapat mempengaruhi bau dan rasa bahan
makanan. Penyimpangan bau dapat disebabkan oleh adanya senyawa aldehid dan
keton hasil penguraian radikal bebas membentuk zat volatile yang bersifat
tengik (Winarno, 1992).
c) Reaksi Maillard
Reaksi Maillard merupakan reaksi antara
karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi
tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat. Penggorengan pada suhu 170-201 0C dianjurkan untuk menghindari pencoklatan
(Winarno, 1999; Shahidi et al., 1997). Beberapa faktor dapat
mempengaruhi rekasi Maillard sepeti suhu, pH dan Aw selama penyimpanan bahan
pangan yang cukup lama (Ismunandar, 2005). Reaksi Maillard akan cepat terjadi
pada aw 0.5 hingga 0.8 (Fayle dan Gerard, 2002; Murthy et al., 2003;
Purnomo, 1995). Reaksi Maillard dapat terjadi selama proses penyimpanan dan
mempengaruhi nilai gizi, warna, dan tekstur. Aktivitas energi pada pembentukan
senyawa amadori menurun dengan meningkatnya nilai Aw dan terhenti pada Aw 0.5.
kecepatan reaksi sangat bergantung pada suhu dan nilai AW lebih besar dari 0.5.
pengaturan nilai Aw merupakan salah satu teknik dalam mengendalikan reaksi
Maillard (Purnomo, 1995).
H. METODOLOGI PENELITIAN
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian akan dilakukan pada bulan
Januari hingga Juni 2010. Tempat penelitian meliputi laboratorium pengolahan
pangan, laboratorium biokimia pangan, laboratoriom mikrobiologi pangan,
laboratorium kimia pangan, dan share lab L-1 dan L-2. Laboratorium
tersebut berada pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selain itu laboratorium yang akan
digunakan adalah laboratorium mirkrobiologi, laboratorium olah 1, laboratorium
olah 2, laboratorium olah 3. Laboratorium tersebut berada pada Direktorat
Program Diploma, Institut Pertanian Bogor.
2. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pupa ulat sutera, tepung tapioka, garam, gula, bawang
putih, minyak goreng kemasan, heksana, akuades serta bahan-bahan untuk uji
sifat fisik, kimia, mikrobiologi dan umur simpan. Alat-alat yang dipakai adalah
panci, kompor, blender kering, pisau, penggorengan, mixer, microwave,
neraca, inkubator, cetakan, oven pengering, oven vakum, texture analyzer,
Aw meter serta peralatan lain untuk uji sifat fisik, sifat kimia, mikrobiologi,
uji hedonik dan umur simpan.
3.
Tahapan Penelitian
Penelitian
diawali dengan pembuatan bubuk pupa ulat sutera dari pupa segar sehingga mudah
diaplikasikan dalam pembuatan kerupuk. Pupa segar direbus selama 10 menit dan
dikeringkan menggunakan oven pengering. Selanjutnya dilakukan proses pembuatan
bubuk serta delipidasi untuk menghilangkan lemaknya. Kemudian dilakukan
karakterisasi bubuk pupa melalui analisis proksimat yang meliputi kadar air,
abu, lemak, protein, dan karbohidrat serta daya cerna protein. Penelitian tahap
selanjutnya yaitu mengaplikasikan bubuk pupa ulat sutera dalam formulasi
kerupuk sebanyak 2.5%, 5%, 7.5%, 10%, 12.5%, 15%, 20% serta sebagai kontrol
negatif kerupuk yang tidak dilakukan penambahan pupa (0%) dan kontrol positif
adalah kerupuk udang komersial. Sebanyak enam formulasi untuk masing-masing
produk dianalisis karakteristiknya (uji fisik dan kimia) setelah mendapatkan
proses pematangan kerupuk secara berbeda (penggorengan dan microwave)
dan dibandingkan dengan standar mutu produk (SNI). Penggunaan teknik pematangan
yang berbeda (deep frying dan microwave) diharapkan dapat
mengurangi kadar lemak pada kerupuk sehingga kerupuk relatif lebih sehat. Empat
formulasi kerupuk yang memenuhi standar SNI untuk masingmasing metode
pemasakkan selanjutnya akan dilakukan uji organoleptik, yaitu uji rating
hedonik untuk menentukan formulasi yang paling disukai oleh konsumen serta uji
pembedaan sederhana dengan kontrol positif dan kontrol negatif. Uji rating
hedonik dan pembedaan sederhana dilakukan terhadap 50 panelis tidak terlatih
menggunakan skala garis. Formulasi terbaik ditentukan dari produk yang
mendapatkan nilai tingkat kesukaan tertinggi oleh panelis. Sampel dengan
formulasi terbaik kemudian dilakukan uji mikrobiologis (total mikroba,
koliform, dan kapang-khamir) serta dikemas menggunakan plastik polipropilen
(PP) kemudian disimpan dalam inkubator bersuhu kamar (300C)
dan dilakukan pengujian karakteristik selama 10 minggu penyimpanan yang meliputi
uji fisik, kimia, mikrobiologi dan organoleptik yang dianalisis setiap dua
minggu sekali. Uji fisik meliputi pengamatan kerenyahan dan Aw. Uji kimia
meliputi kadar air, TBA, dan bilangan peroksida. Uji organoleptik meliputi uji
rating hedonic dan uji pembedaan sederhana. Secara ringkas, kerangka konsep
penelitian dapat dilihat pada.
KENAPA GA ADA DAFTAR PUSTAKA NYA OOM AAH!!!
BalasHapus